Kumpulan Tulisan di Group BBM As Sunnah 9 & 14

Archive for the ‘Bedah Buku’ Category

Fiqh Do’a

Dari Grup: Bedah Buku2

DO’A
———-
Oleh: Ustad Kholid Syamhudi, Lc

Tidak dapat dipungkiri setiap orang ingin do’anya terkabulkan. Alangkah indahnya bila hal itu didapatkan dan alangkah celakanya bila do’a kita dipastikan tidak dikabulkan.
Perlu diingat Allah adalah Dzat yang maha pengasih dan penyayang kepada hambaNya. Apalagi Dia senang hambaNya berdo’a, menghadap dan menampakkan kefakiran (kebutuhan)nya kepada Allah. Ditambah lagi Allah tidak akan menolak hambaNya yang memohon dengan mengangkat kedua tangannya, sebagaimana dijelaskan Rasululloh dalam sabdanya:
إِنَّ رَبَّكُمْ تَبَارَكَ وَتَعَالَى حَيِيٌّ كَرِيمٌ يَسْتَحْيِي مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرًا
Sesungguhnya Rabb kamu –Tabaraka wata’ala- Hayiyun karimun, ia malu dari hambaNya apabila mengangkat kedua tangannya untuk membiarkannya tidak membawa apa-apa. (HR Abu Daud )

Mengapa kita berdoa

a. Mengamalkan perintah Allah:
[وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ] (غافر:60)،
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”. (QS al-Mukmin:60)
Dan firman Allah :
[وَادْعُوهُ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ] [الأعراف:29].
Berdoalah kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. (QS al-A’rof:29)

b. Mencegah sifat takabbur

“وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْ أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ” [غافر:60].
Dan Tuhanmu berfirman: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam Keadaan hina dina”.(QS al-Mukmin:60).
Imam asy-Syaukani menjelaskan ayat ini: Ayat yang mulia ini menunjukkan doa merupakan ibadah, karena Allah memerintahkan hambaNYa untuk berdoa kepadaNya, kemudian Dia berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku” sehingga menunjukkan doa adalah ibadah dan tidak berdoa kepada Allah adalah kesombongan dan tidak ada yang lebih buruk dari kesembongan seperti ini. Bagaimana seorang hamba sombong tidak mau berdoa kepada sang maha penciptanya, pemberi rezekinya, yang mengadakannya dari ketidak adaan dan menciptakan seluruh alam semesta, member rezeki, menghidupkan, mematikan, memberi pahala dan siksaan. Jelaslah kesombongan seperti ini adalah satu kegilaan dan cabang dari kufur nikmat. (Tuhfat adz-Dzaakirin karya imam Muhammad bin Ali asy-Syaukani hlm 28)

c. Doa adalah ibadah
Hal ini dijelaskan dalam hadits an-Nu’man bin Basyir yang berbunyi:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ_صلى الله عليه وسلم_ قَالَ:”الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ”
Sesungguhnya Rasulullah bersabda: doa adalah ibadah. (HSR at-Tirmidzi)

d. Doa adalah amalan yang dicintai Allah dan menjadi sebab mencegah kemurkaan Allah.
Seperti dijelaskan sahabat Abdullah bin Mas’ud dari Rasulullah beliau bersabda:
مَنْ لَمْ يَسْأَلِ اللهَ يَغْضَبْ عَلَيْهِ
Siapa yang tidak meminta kepada Allah niscaya Allah murka padanya. (HHR at-Tirmidzi) hadits ini menunjukkan keridhaan ilahi ada pada doa dan ketaatan. Apabila Allah ridha maka semua kebaikan ada pada keridhanNya, sebagaimana semua petaka dan maksiat ada pada kemurkaanNya. (lihat al-Jawaab al-Kaafi hlm 8-9).
Benar ungkapan :
لاَ تَسْأَلَنَّ بُنَيَّ آدَمَ حَـاجَةً *** وَسَلِ الَّذِيْ أَبْوَابُهُ لاَ تُحْجَبُ
اللهُ يَغْضَبُ إِنْ تَرَكْتَ سُؤَالَهُ*** وَبُنَيُّ آدَمَ حِيْنَ يُسْأَلُ يَغْضَبُ

e. Doa adalah tanda ketawakkalan kita kepada Allah.

f. Doa adalah tanda keselamatan dari sifat ketidak mampuan, berdasarkan hadits Abu Hurairoh yang berbunyi:
أَنَّ النَّبِيَ_صلى الله عليه وسلم_قاَلَ:”أَعْجَزُ النَّاسِ مَنْ عَجِزَ عَنِ الدُّعَاءِ، وَأَبْخَلُ النَّاسِ مَنْ بَخِلَ بِالسَّلاَمِ”
Sesungguhnya Nabo bersabda: Orang yang paling tidak mampu adalah orang yang tiodak mampu berdoa dan orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil ngucapkan salam (HR Ahmad dan at-Tirmidzi dan dihasankan al-Albani dalam Shahih al-Jaami’ no 5678

g. Hasil dari doa yang sdh dapatkan jaminan –dengan izin Allah- terkabulkan.
11 مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ
Tidak ada seorang muslim dimuka bumi ini berdo’a kepada Allah kecuali Allah akan memberikannya atau dipalingkan darinya kejelekan seperti itu selama tidak berdoa dengan dosa atau memutus kekerabatan. Lalu seorang dari kaum berkata: Kalau begitu kita memperbanyak (do’a)! beliau menjawab: Allah lebih banyak lagi (memberinya). (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan dalam kitab Shohih kitab al-Adzkaar karya Syeikh Salim al-Hilali).

Imam Ibnu Hajar menyatakan: Semua orang yang berdoa akan diijabahi, namun ijabahnya bervariasi, kadang terjadi seperti yang diminta dan kadang dengan gantinya. (lihat Fathul bari 11/95)

h. Doa menjadi sebab menolak bala sebelum turunnya, berdasarkan sabda Rasulullah :
“وَلاَ يَرُدُّ الْقَدَرَ إِلاَ الدُّعَاءُ”
Tidak menolak takdir kecuali do’a (HR Ahmad dan ibnu Majah dan dihasankan al-Albani dalam shahih al-Jaami’ no. 7687 dan juga lihat Silsilah Ahadits shahihah no 154)
Demikian juga setelah datangnya bencana dan bala’ juga manfaat, seperti dijelaskan dalam sabda Rasulullah:
“مَنْ فُتِحَ لَهُ مِنْكُمْ بَابُ الدُّعَاءِ فُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ الرَّحْمَةِ، وَمَا سُئِلَ اللهُ شَيْئًا يُعْطُى_ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ الْعَافِيَةَ، إِنَّ الدُّعَاءَ يَنْفَعُ مِمَّا نَزَلَ وَمِمَّا لَمْ يَنْزِلْ؛ فَعَلَيْكُمْ عِبَادَ اللهِ بِالدُّعَاءِ) (20).
Siapa dari kalian yang dibukakan pintu doa, maka telah dibukakan untuknya pintu-pintu rahmat. Tidaklah Allah diintta sesuatu yang diberi lebih dicintaiNya dari permintaan afiyat. Sesungguhnya doa bermanfaat dari petaka yang terjadi dan dari yang belum terjadi. Maka hendaklah -wahai hamba Allah- untuk berdoa. (HR at-Tirmidzi dan dihasankan al-Albani dalam shohih al-Jaami’ 3409) .

i. Doa menjadi sifat hamba Allah yang bertakwa. Seperti dijelaskan Allah dalam firmanNya:
“إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوْا لَنَا خَاشِعِيْنَ” [الأنبياء: 90]
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami. (QS al-Anbiya’ :90).
Juga menjelaskan kepada kita tentang hamba-hamba Allah yang shalih dalam firmanNya:
“وَالَّذِيْنَ جَاءُوْا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالإِيْمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غِلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ” [الحشر:10]
dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb Kami, beri ampunlah Kami dan saudara-saudara Kami yang telah beriman lebih dulu dari Kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati Kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb Kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”
Ada berita gembira yang disampaikan Rasululloh kepada kita, yaitu sabda beliau:
مَا عَلَى الْأَرْضِ مُسْلِمٌ يَدْعُو اللَّهَ بِدَعْوَةٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ إِيَّاهَا أَوْ صَرَفَ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهَا مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْقَوْمِ إِذًا نُكْثِرُ قَالَ اللَّهُ أَكْثَرُ
Tidak ada seorang muslim dimuka bumi ini berdo’a kepada Allah kecuali Allah akan memberikannya atau dipalingkan darinya kejelekan seperti itu selama tidak berdoa dengan dosa atau memutus kekerabatan. Lalu seorang dari kaum berkata: Kalau begitu kita memperbanyak (do’a)! beliau menjawab: Allah lebih banyak lagi (memberinya). (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan dalam kitab Shohih kitab al-Adzkaar karya Syeikh Salim al-Hilali).
Dalam hadits ini dijelaskan Allah menjanjikan pengabulan do’a seorang muslim, namun tentunya bila syarat-syaratnya terpenuhi.

Syarat-syarat do’a.

Para ulama menjelaskan syarat-syarat terkabulkannya do’a, diantaranya:

1. Ikhlas.
Demikianlah dalam berdo’a harus ikhlas semata mengharap kepada Allah, sebab do’a adalah ibadah dan ibadah tidak diterima tanpa ada keikhlasan

2. Tidak tergesa-gesa
Manusia makhluk yang suka tergesa-gesa dan gampang putus asa sehingga bila do’anya tidak segera tampak hasilnya, iapun meninggalkannya dan bosan berdoa bahkan bias marah dan menyalahkan Allah. Oleh karenanya sifat tergesa-gesa ini menjadi penghancur do’a sebagaimana disabdakan Rasululloh :
لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ

Senantiasa Allah mengabulkan do’a hambaNya selama tidak berdo’a dengan dosa atau memutus kekerabatan, selama tidak tergesa gesa. Ada yang bertanya: Wahai Rasululloh apa itu ketergesaan (dalam do’a)? beliau menjawab: Hamba itu menyatakan: Saya telah berdo’a dan telah berdoa namun belum saya lihat Allah mengabulkannya. Lalu ia menyesal ketika itu dan meninggalkan do’a. (HR Muslim)
Seharusnya seorang hamba terus menerus berdo’a dan memperbanyak do’a dan tidak menunggu dikabulkannya sebab pengabulan do’a semata hak Allah.

3. Berdoa kebaikan
Terkadang seseorang Karena tidak sabar berdo’a kejelekan kepada dirinya, anaknya dan keluarganya. Sebagaimana firman Allah:

Dan manusia mendo’a untuk kejahatan sebagaimana ia mendo’a untuk kebaikan. Dan adalah manusia bersifat tergesa-gesa. (QS. Al-Isra’ 17:11)
Dengan demikian do’a kejelekan tidak dikabulkan karena kelembutan dan sayangnya Allah kepada hambaNya. Namun jangan memperbanyak hal itu karena khawatir masuk dalam waktu Allah mengabulkan seluruh permintaan hambaNya, karena Rasululloh bersabda:
لاَ تَدْعُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوْا عَلَى أَوْلاَدِكُمْ، وَلاَ تَدْعُوا عَلَى أَمْوَالِكُمْ؛ لاَ تُوَافِقُوْا مِنَ اللهِ سَاعَةً يُسْأَلُ فِيْهَا عَطَاءً فَيَسْتَجِيْبُ لَكُمْ
Janganlah kalian berdo’a kejelekan kepada diri kalian, anak kalian dan harta kalian; jangan sampai kalian masuk dalam waktu Allah diminta permintaan padanya lalu mengabulkan do’a kalian (HR Muslim).

4. Yakin dan hadirnya hati dalam berdo’a

Dalam berdo’a kita menghadap Allah dan menyampaikan hajat kebutuhan kita kepadaNya. Tentunya tidak pantas kita menyampaikan ucapan yang tidak kita fahami makna dan kandungannya sehingga akhirnya hati kita tidak hadir dan tidak yakin dengan do’a tersebut. Padahal Rasululloh bersabda:
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالْإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لَاهٍ
Berdo’alah kepada Allah dalam keadaan yakin dikabulkan dan ketahuilah Sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do’a orang yang hatinya lalai dan main-main. (HR at-Tirmidzi dengan derajat hasan).

5. Makanan dan minuman harus halal.

Makanan yang halal memberikan pengaruh terhadap dikabulkannya do’a, sebagaimana dijelaskan Rasululloh dalam sabdanya:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّباً، وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِيْنَ فَقَالَ تَعَالَى : ,يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً – وَقاَلَ تَعَالَى : , يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ – ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيْلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ ياَ رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِّيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لَهُ .
Sesungguhnya Allah ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan orang beriman sebagaimana dia memerintahkan para rasul-Nya dengan firmannya : Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalehlah. Dan Dia berfirman : Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian. Kemudian beliau menyebutkan ada seseorang melakukan perjalanan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia memanjatkan kedua tangannya ke langit seraya berkata : Ya Robbku, Ya Robbku, padahal makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan. (Riwayat Muslim).

Adab dalam Berdoa

Adab dalam berdoa dapat dibagi dalam beberapa kategori:

a. Tata cara

Rasulullah menyampaikan beberapa adab dan etika dalam tata cara berdoa, diantaranya:

1. Memuji Allah sebelum berdoa dan bershalawat kepada Nabi, berdasarkan hadits Fadhaalah bin Ubaid beliau berkata:
بَيْنَمَا رَسُوْلُ اللهِ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ، فَصَلَّى فَقَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ، وَارْحَمْنِيْ. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ”:”عَجَلْتَ أَيَّهَا الْمُصَلِّي، إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِ اللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، وُصَلِّ عَلَيَّ ثمُ َّادْعُهُ”.ثُمَّ صَلَّى رَجُلٌُ آخَرُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَحَمِدَ اللهَ، وَصَلَّى عَلَى النَّبِي”، فَقَالَ لَهُ النَّبِي”:أَيُّهَا الْمُصَلِّي ادْعُ تُجَبْ

Ketika Rasulullah duduk tiba-tiba masuk seorang lalu sholat dan berkata: Ya Allah ampunilah dan rahmatilah aku. Lalu Rasulullah menyatakan: Wahai orang yang shalat kamu telah terburu-buru. Apabila kamu sholat lalu duduk maka pujilah Allah dengan pujian yang pantas dan bersholawatlah kepadaku kemudian baru berdoa! Kemudian seorang lain selesai sholat setelah itu lalu memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi. Maka Nabi berkata kepadanya: Wahai orang yang shalat berdoalah pasti akan diijabahi. (HR at-Tirmidzi dan Abu daud dan dihasankan al-Albani dalam Shohih al-Jaami’ no. 3988). Bahkan Nabi menyatakan:
“كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ، حَتَّى يُصَلِّيَ عَلَى النَّبِي- صلى الله عليه وسلم-
Semua doa tehalangi hingga bershalawat kepadaku (HR ath-Thabrani dan dihasankan al-Albani dalam shahih al-Jaami’ no. 4523).

2. Mengakui dosa dan kesalahannya, oleh karena itu doa nabi Yunus termasuk doa yang teragung karena berisi pengakuan pada keesaan Allah dan pengakuan dosa dan kesalahan yang telah dilakukannya. Allah mengisahkan doa beliau dalam firmanNya:
:”فَنَادَى فِي الظُّلُمَاتِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَ أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِيْنَ” [الأنبياء: 87] (29).
Maka ia menyeru dalam Keadaan yang sangat gelap: “Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.” (QS al-Anbiya’ : 87).

Sebagai contoh adalah doa sayyid al-Istighfar yang disampaikan dalam hadits Syidaad bin Aus dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwa beliau bersabda:
“سَيِّدُ الاِسْتِغْفَارِ أَنْ يَقُوْلَ الْعَبْدُ: اللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. مَنْ قَالَهَا فِي النَّهَارِ مُوْقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيْ _ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوْقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ _ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ”

Sayyid al-Istighfar adalah ucapan seorang hamba: () barang siapa yang mengucapkannya disiag hari dalam keadaan yakin dengannya lalu mati dihari tersebut sebelum sore maka ia termasuk penduduk syurga dan siapa yang mengucapkannya di malam hari dalam keadaan yakin dengannya lalu mati sebelum subuh maka ia termasuk penduduk syurga.(HR al-Bukhori).

3. Khusyu’ dan memohon dengan sangat dan berharap dan cemas dalam berdoa, seperti dijelaskan dalam firman Allah:
“إِنَّهُمْ كَانُوْا يُسَارِعُوْنَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُوْنَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوْا لَنَا خَاشِعِيْنَ” [الأنبياء: 90].
Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada kami.

4. Sungguh-sunggu dan pasti dalam memohon. Seperti dijelaskan Nabi dalam sabdanya:
“لاَ يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِيْ إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزَمِ الْمَسْأَلَةَ؛ فَإِنَّهُ لاَ مُسْتَكْرَهَ لَهُ”
Janganlah salah seorang kalian mengucapkan: Ya Allah ampunilah aku bila kamu kehendaki, ya Allah rahmatilah aku bila Engkau kehendaki. Hendaknya sungguh-sungguh dalam meminta karena Allah tidak akan terpaksa. (Muttafaqun ‘alaihi)

5. Berdoa dalam segala keadaan, seperti dijelaskan Rasulullah dalam sabdanya:
“مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَسْتَجِيْبَ اللهُ لَهُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالْكُرَبِ _ فَلْيُكْثِرْ مِنَ الدُّعَاءِ فِي الرَّخَاءِ”
Siapa yang ingin Allah kabulkan doanya ketika kesusahan dan bencana maka perbanyaklah doa ketika longgar (HR at-Tirmidzi dan al-Haakim dan dihasankan al-Albani dalam shahih al-Jaami’ no. 6290)

Mari mumpung sdg tdk sempit perbanyak doa

6. Menghadap kiblat.

7. Mengangkat tangan. Memang demikian karena mengangkat tangan dalam berdo’a pada asalnya disyari’atkan dalam hadits-hadits yang mutawatir maknawi dalam banyak kondisi dan peristiwa, baik berupa perbuatan ataupun perkataan beliau صلى الله عليه وسلم .

Diantara hadits yang menunjukkan beliau صلى الله عليه وسلم mengangkat tangan adalah hadits Abu Musa al-Asy’ari yang berbunyi:
دَعَا النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَرَأَيْت بَيَاض إِبْطَيْهِ
Nabi berdo’akemudian mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih ketiak beliau. (Mutafaqun ‘alaihi)
Sedangkan dari pernyataan beliau adalah sabda beliau yang berbunyi:
إِنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحْيِيْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفَعَ إِلَيْهِ يَدَيْهَ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً.
Sungguh Allah itu Hayyiyun Kariemun malu dari hambaNya apabila mengangkat kedua tangannya kepadaNya untuk tidak mengabulkannya. (HR abu Daud dan at-Tirmidi dan dihasankan al-Albani dalam shahih al-Jaami’ 2070)

Agar jelasnya kami berikan satu kaedah tentang mengangkat tangan dalam berdo’a yang disampaikan ulama yaitu mengangkat tangan dalam berdo’a dapat dibagi dalam tiga kategori:

1. do’a-do’a yang Nabi n mengangkat tangan padanya, seperti khothib berdo’a untuk istisqa’ (minta hujan), maka kita mengangkat tangan dalam hal ini, dengan dalil hadits riwayat al-Bukhori dari Anas bin Malik dalam kisah A’robi yang meminta beliau dalam khutbah jum’at utuk minta hujan, lalau beliau mengangkat kedua tangannya berdo’a dan orang-orangpun mengangkat tangan-tangan mereka.

2. Do’a-do’a yang Nabi tidak mengangkat tangan padanya, seperti berdo’a didalam khutbah jum’at bukan istisqa’ (minta hujan). Seandainya khothib berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin atau pertolongan dan kemenangan untuk para mujahidin dalam khutbah jum’at maka ia tidak mengangkat tangannya. Demikian juga do’a diantara dua sujud, pada tahiyat akhir sebelum salam dan sejenisnya maka tidak mengangkat tangannya.

3. Do’a-do’a yang tidak diriwayatkan Nabi صلى الله عليه وسلم melakukannya dengan mengangkat tangan atau tidak mengangkat tangan, maka hukumnya kembali kepada asal yaitu diperbolehkan mengangkat tangan padanya.
** BBM AS SUNNAH **

Syarah Ushul Sunnah Imam Ahmad (bag. 10)

Ke-sepuluh:

ولا تضرب لها الأمثال، ولا تدرك بالعقول والأهواء. إنما هو الاتباع وترك الهوى

10. As-Sunnah tidak boleh dibuat permisalan dan tidak dapat diukur dengan akal dan hawa nafsu, akan tetapi dengan ittiba’ dan meninggalkan hawa nafsu.

Faedah poin 10:
Oleh Ustad Badrussalam

1. Memberi permisalan dalam aqidah termasuk menggunakan qiyasn dan qiyas tidak berlaku dalam aqidah.
2. Kewajiban kita adalah ittiba’ terhadap nash-nash dan meninggalkan hawa nafsu.
Aqal bukan sebagai parameter dalam masalah aqidah, namun demikian aqal yang sehat tidak akan bertabrakan dengan dalil yang shahih.
3. Bila ada dalil yg seakan-akan bertentangan dengan aqal, kewajiban kita adalah menuduh aqal kita yang tidak memahaminya.
4. Hawa nafsu adalah penyebab utama yang menyesatkan manusia dari aqidah yang shahihah.

Tanya:
Ustadz badru…terkadang kita yg notabene sudah belajar dan berilmu dien islam ini dg manhaj salaf…tetap diakui masih disesatkan oleh hawa nafsu duniawi….bagaimana dengan kadar dosa kami ini ustadz ? Apakah lebih besar dosanya dibanding dg yg masih jahil ? ‎​شُكْرًاجَزِيلاً tadz

Jawab:
Bisa jadi

Syarah Ushul Sunnah Imam Ahmad (bag. 9)

Ke sembilan:
وليس في السنة قياس

9.Di dalam As-Sunnah tidak ada qiyas.
Faidah point 9:
1. Maksud beliau tidak ada qiyas dalam sunnah adalah dalam aqidah, karena para ulama dahulu seing memutlakkan kata sunnah utk aqidah.
2. Qiyas tidak berlaku dalam masalah aqidah, karena masalah keyakinan tidak diketahui illatnya, sedangkan syarat qiyas adalah adanya persamaan illat.
Seperti keyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arasy, keyakinan ttg surga dan neraka dsb.
3. Dalam aqidah hanya berlaku qiyas aula, yaitu qiyas yg lebih tinggi namun dgn syarat harus sempurna dari seluruh sisinya.
Seperti manusia yg melihat lebih sempurna dari manusia yg buta, maka bagi Allah lebih layak lagi.
Tapi jika kesempurnaannya bersifat relatif maka haram, seperti manusia yg punya anak lebih sempurna dari manusia yg tidak punya anak. Bagi manusia punya anak itu sempurna karena ia butuh kpd anak. Dan bagi Allah sifat ini kurang.
4. Qiyas yg dilarang dalam aqidah adalah qiyas tamtsil dan qiyas syumul. Qiyas tamtsil yaitu mempersamakan Allah dengan makhluknya seperti mengatakan: bila Allah punya tangan maka makhlukpun punya tangan, lalu ia mengingkari sifat tangan, karena menganggap mempersamakan Allah dgn makhluk.
Qiyas syumul adalah mempersamakan Allah pada sebagian sifat makhlukNya, seperti mengatakan bahwa semua yg mempunyai tangan, kaki adalah jasad, maka tidak mungkin Allah berupa jasad yg saling membutuhkan.
Dua qiyas ini batil dan tidak boleh digunakan dalam aqidah, dan qiyas seperti ini yg dilarang oleh para ulama.
5. Qiyas juga tidak berlaku dalam ibadah mahdlah, yaitu ibadah yg tidak bercampur dgn kebiasaan. Seperti jumlah rakaat, tatacara ibadah dsb.

Rukun qiyas ada 4: pokok, cabng, hukum, dan illat.
Qiyas itu berlaku pada ibadah ghaira mahdlah artinya ibadah yg bercampur dgn kebiasaan seperti zakat, mu’amalah dsb.
Syarat sah qiyas:
1. Tidak bertabrakan dgn dalil. Dan qiyas yg bertabrakan dgn nash disebut dgn qiyas fasid (rusak).
2. Pokoknya harus ditetapkan oleh dalil, maka tidak sah qiyas pokok yg tidak ditunjukkan oleh dalil.
3. Illatnya harus sama, bila illatnya berbeda maka qiyas tsb gugur.
Maksudnya antara cabang dan pokok terdapat illat yg sama, contohnya gandum dan beras illatnya sama-sama makanan pokok.

Tanya: Kalo kita shalat, seolah olah Allah ada
dihadapan kita dan melihat kita apa termasuk dalam qiyas stadz ?
Jawab: Tidak masuk pak roll

Tanya : Stadz qiyas itu apakah arti secara lughah = analogi?
Jawab : Betul, Qiyas artinya menyamakan hukum cabang dgn hukum pokok karena adanya persamaan illat.

Syarah Bulughul Marom (bag. 4)

Dari Grup: Bedah Buku

Lanjutan Syarah Bulugh al Maram:
Oelh Ustadz Kholid syamhudi Lc

BIOGRAFI AL-HAFIZH IBNU HAJAR AL-ASQALANI
(12 sya’ban tahun 773H sd 28 Dzulhijjah 852H)

Pada akhir abad kedelapan hijriyah dan pertengahan abad kesembilan hijriyah termasuk masa keemasan para ulama dan terbesar bagi perkembangan madrasah, perpustakaan dan halaqah ilmu, walaupun terjadi keguncangan sosial politik. Hal ini karena para penguasa dikala itu memberikan perhatian besar dengan mengembangkan madrasah-madrasah, perpustakaan dan memotivasi ulama serta mendukung mereka dengan harta dan jabatan kedudukan. Semua ini menjadi sebab berlombanya para ulama dalam menyebarkan ilmu dengan pengajaran dan menulis karya ilmiyah dalam beragam bidang keilmuan. Pada masa demikian ini muncullah seorang ulama besar yang namanya harum hingga kini al-Haafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani. Berikut biografi singkat beliau:

Nama dan Nashab

Beliau bernama Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Muhammad bin Ali bin Mahmud bin Ahmad bin Hajar Al-Kannani Al-Asqalani al-Mishri. (lihat Nazhm al-‘Uqiyaan Fi A’yaan al-A’yaan karya As-Suyuthi hal 45)

Gelar dan Kunyah Beliau

Beliau seorang ulama besar madzhab syafi’i, digelari dengan ketua para qadhi, syaikhul islam, hafizh al-Muthlaq (seorang hafizh secara mutlak), amirul mukminin dalam bidang hadist dan dijuluki syihabuddin dengan nama pangilan (kuniyahnya) adalah Abu Al-Fadhl. Beliau juga dikenal dengan nama Abul Hasan Ali dan lebih terkenal dengan nama Ibnu Hajar Nuruddin Asy-Syafi’i. Guru beliau, Burhanuddin Ibrahim Al-Abnasi memberinya nama At-Taufiq dan sang penjaga tahqiq.

Kelahirannya

Beliau dilahirkan tanggal 12 Sya’ban tahun 773 Hijriyah dipinggiran sungai Nil di Mesir kuno. Tempat tersebut dekat dengan Dar An-Nuhas dekat masjid Al- Jadid. (lihat adh-Dahu’ al-Laami’ karya imam as-Sakhaawi 2/36 no. 104 dan al-badr at-Thaali’ karya asy-Syaukani 1/87 no. 51).

Sifat beliau

Ibnu hajar adalah seorang yang mempunyai tinggi badan sedang berkulit putih, mukanya bercahaya, bentuk tubuhnya indah, berseri-seri mukanya, lebat jenggotnya, dan berwarna putih serta pendek kumisnya. Dia adalah seorang yang pendengaran dan penglihatan sehat, kuat dan utuh giginya, kecil mulutnya, kuat tubuhnya, bercita-cita tinggi,kurus badannya, fasih lisannya, lirih suaranya, sangat cerdas, pandai, pintar bersyair dan menjadi pemimpin dimasanya.

Pertumbuhan dan belajarnya

Ibnu hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim, ayah beliau meninggal ketika ia berumur 4 tahun dan ibunya meninggal ketika ia masih balita. Ayah beliau meninggal pada bulam rojab 777 H setelah berhaji dan mengunjungi baitulmaqdis dan tinggal didua tempat tersebut. Waktu itu Ibnu Hajar ikut bersama ayahnya. Setelah ayahnya meninggal beliau ikut dan diasuh oleh Az-Zaki Al-Kharubi (kakak tertua ibnu hajar) sampai sang pengasuh meninggal. Hal itu karena sebelum meninggal, sang ayah berwasiat kepada anak tertuanya yaitu saudagar kaya bernama Abu Bakar Muhammad bin Ali bin Ahmad Al-Kharubi (wafat tahun 787 H) untuk menanggung dan membantu adik-adiknya. Begitu juga sang ayah berwasiat kepada syaikh Syamsuddin Ibnu Al-Qaththan (wafat tahun 813 H) karena kedekatannya dengan Ibnu Hajar kecil.

Ibnu hajar tumbuh dan besar sebagai anak yatim piatu yang menjaga iffah (menjaga diri dari dosa), sangat berhati-hati, dan mandiri dibawah kepengasuhan kedua orang tersebut. Zaakiyuddun Abu Bakar al-Kharubi memberikan perhatian yang luar biasa dalam memelihara dan memperhatikan serta mengajari beliau. Dia selalu membawa Ibnu Hajar ketika mengunjungi dan tinggal di Makkah hingga ia meninggal dunia tahun 787 H.
Pada usia lima tahun Ibnu Hajar masuk al-Maktab (semacam TPA sekarang) untuk menghafal al-Qur`an, di sama ada seorang guru yang bernama Syamsuddin bin Al-Alaf yang saat itu menjadi gubernur Mesir dan juga Syamsuddin Al-Athrusy. Akan tetapi, ibnu hajar belum berhasil menghafal al-Qur’an sampai beliau diajar oleh seorang ahli fakih dan pengajar sejati yaitu Shadruddin Muhammad bin Muhammad bin Abdurrazaq As-Safthi Al Muqri’. Kepada beliau ini lah akhirnya ibnu hajar dapat mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya ketika berumur sembilan tahun.
Ketika Ibnu Hajar berumur dua belas tahun ia ditunjuk sebagai imam shalat tarawih di Masjidil Haram pada tahun 785H.
Ketika sang pengasuh berhaji pada tahun 784H, Ibnu Hajar menyertainya sampai tahun 786H hingga kembali bersama Al-Kharubi ke Mesir. Setelah kembali ke Mesir pada tahun 786 H Ibnu Hajar benar-benar bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hingga ia hafal beberapa kitab-kitab induk seperti al-‘Umdah al-Ahkaam karya Abdulghani al-maqdisi, al-Alfiyah fi Ulum al-hadits karya guru beliau al-Haafizh al-Iraqi, al-Haawi ash-Shoghi karya al-Qazwinir, Mukhtashar ibnu al-Haajib fi al-Ushul dan Mulhatu al-I’rob serta yang lainnya.
Pertama kali ia diberikan kesenangan meneliti kitab-kitab sejarah (tarikh) lalu banyak hafal nama-nama perawi dan keadaannya. Kemudian meneliti bidang sastra Arab dari tahun 792 H dan menjadi pakar dalam syair.

Kemudian diberi kesenangan menuntut hadits dan dimulai sejak ahun 793 H namun beliau belum konsentrasi penuh dalam ilmu ini kecuali pada tahun 796 H. Diwaktu itulah beliau konsentrasi penuh untuk mencari hadits dan ilmunya.

Saat ketidakpuasan dengan apa yang didapatkan akhirnya Ibnu Hajar bertemu dengan Al- Hafizh Al-Iraqi yaitu seorang syaikh besar yang terkenal sebagai ahli fikih, orang yang paling tahu tentang mahzab Syafi’i. Disamping itu ia seorang yang sempurna dalam penguasaan tafsir, hadist dan bahasa Arab. Ibnu Hajar menyertai san guru selama sepuluh tahun. Dan dalam sepuluh tahun ini Ibnu Hajar menyelinginya dengan perjalanan ke Syam dan yang lainnya. Ditangan syaikh inilah Ibnu Hajar berkembang menjadi seorang ulama sejati dan menjadi orang pertama yang diberi izin Al-Iraqi untuk mengajarkan hadits. Sang guru memberikan gelar Ibnu Hajar dengan Al- Hafizh dan sangat dimuliakannya. Adapun setelah sang guru meninggal dia belajar dengan guru kedua yaitu Nuruddin Al-Haitsami, ada juga guru lain beliau yaitu Imam Muhibbuddin Muhammad bin Yahya bin Al- Wahdawaih melihat keseriusan Ibnu Hajar dalam mempelajari hadits, ia memberi saran untuk perlu juga mempelajari fikih karena orang akan membutuhkan ilmu itu dan menurut prediksi nya ulama didaerah tersebut akan habis sehingga Ibnu Hajar amat diperlukan.
Imam Ibnu Hajar juga melakukan rihlah (perjalanan tholabul ilmi) ke negeri Syam, Hijaj dan Yaman dan ilmunya matang dalam usia muda himgga mayoritas ulama dizaman beliau mengizinkan beliau untuk berfatwa dan mengajar.
Beliau mengajar di markaz ilmiyah yang banyak diantaranya mengajar tafsir di al-madrasah Al-Husainiyah dan al-Manshuriyah, mengajar hadits di Madaaris al-Babrisiyah, az-Zainiyah dan asy-Syaikhuniyah dan lainnya. Membuka majlis tasmi’
Beliau juga memegang masyikhokh (semacam kepala para syeikh) di al-madrasah al-Baibrisiyah dan madrosah lainnya (lihat ad-Dhau’ al-Laami’ 2/39).

Para Guru Beliau

Al-Hafizh Ibnu Hajar sangat memperhatikan para gurunya dengan menyebut nama-nama mereka dalam banyak karya-karya ilmiyahnya. Beliau menyebut nama-nama mereka dalam dua kitab, yaitu:

1. Al-Mu’jam al-Muassis lil Mu’jam al-Mufahris

2. Al-Mu’jam al-Mufahris
Imam as-Sakhaawi membagi guru beliau menjadi tiga klasifikasi:

a. Guru yang beliau dengar hadits darinya walaupun hanya satu hadits

b. Guru yang memberikan ijazah kepada beliau

c. Guru yang beliau ambil ilmunya secara mudzkarah atau mendengar darinya khutbah atau karya ilmiyahnya.
Guru beliau mencapai lebih dari 640an orang, sedangkan Ibnu Khalil ad-Dimasyqi dalam kitab Jumaan ad-Durar membagi para guru beliau dalam tiga bagian juga dan menyampaikan jumlahnya 639 orang.

Dalam kesempatan ini kami hanya menyampaikan beberapa saja dari mereka yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan keilmuan beliau agar tidak terlalu panjang biografi beliau ini.

Diantara para guru beliau tersebut adalah:

I. Bidang keilmuan al-Qira’aat (ilmu al-Qur`an):
Syeikh Ibrohim bin Ahmad bin Abdulwahid bin Abdulmu`min bin ‘Ulwaan at-tanukhi al-ba’li ad-Dimasyqi (wafat tahun 800 H) dikenal dengan Burhanuddin asy-Syaami. Ibnu Hajar belajar dan membaca langsung kepada beliau sebagian al-Qur`an, kitab asy-Syathibiyah, Shohih al-Bukhori dan sebagian musnad dan juz al-hadits. Syeikh Burhanuddin ini memberikan izin kepada Ibnu Hajar dalam fatwa dan pengajaran pada tahun 796 H.

II. Bidang ilmu Fikih:

1. Syeikh Abu Hafsh Sirojuddin Umar bin Ruslaan bin Nushair bin Sholih al-Kinaani al-‘Asqalani al-Bulqini al-Mishri (wafat tahun 805 H) seorang mujtahid, haafizh dan seorang ulama besar. Beliau memiliki karya ilmiyah, diantaranya: Mahaasin al-Ish-thilaah Fi al-Mushtholah dan Hawasyi ‘ala ar-Raudhah serta lainnya.

2. Syeikh Umar bin Ali bin Ahmad bin Muhammad bin Abdillah al-Anshori al-Andalusi al-Mishri (wafat tahun 804 H) dikenal dengan Ibnu al-Mulaqqin. Beliau orang yang terbanyak karya ilmiyahnya dizaman tersebut. Diantara karya beliau: al-I’laam Bi Fawaa`id ‘Umdah al-Ahkam (dicetak dalam 11 jilid) dan Takhrij ahaadits ar-Raafi’i (dicetak dalam 6 jilid) dan syarah Shohih al-Bukhori dalam 20 jilid.

3. Burhanuddin Abu Muhammad Ibrohim bin Musa bin Ayub Ibnu Abnaasi (725-782 ).

III. Bidang ilmu Ushul al-Fikih :

Syeikh Izzuddin Muhammad bin Abu bakar bin Abdulaziz bin Muhammad bin Ibrohim bin Sa’dullah bin Jama’ah al-Kinaani al-Hamwi al-Mishri (Wafat tahun 819 H) dikenal dengan Ibnu jama’ah seorang faqih, ushuli, Muhaddits, ahli kalam, sastrawan dan ahli nahwu. Ibnu Hajar mulazamah kepada beliau dari tahun 790 H sampai 819 H.

IV. Bidang ilmu Sastra Arab :

1. Majduddin Abu Thaahir Muhammad bin ya’qub bin Muhammad bin Ibrohim bin Umar Asy-Syairazi al-Fairuzabadi (729-827 H). seorang ulama pakar satra Arab yang paling terkenal dimasa itu.

2. Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin ‘Ali bin Abdurrazaaq al-Ghumaari 9720 -802 H).

V. Bidang hadits dan ilmunya:

1. Zainuddin Abdurrahim bin al-Husein bin Abdurrahman bin Abu bakar bin Ibrohim al-Mahraani al-Iraqi (725-806 H ).

2. Nuruddin abul Hasan Ali bin Abu Bakar bin Sulaimanbin Abu Bakar bin Umar bin Shalih al-Haitsami (735 -807 H).

Selain beberapa yang telah disebutkan di atas, guru-guru Ibnu Hajar, antara lain:

*Al-Iraqi, seorang yang paling banyak menguasai bidang hadits dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan hadits.

*Al-Haitsami, seorang yang paling hafal tentang matan-matan.

*Al-Ghimari, seorang yang banyak tahu tentang bahasa Arab dan berhubungan dengan bahasa Arab.

*Al-Muhib bin Hisyam, seorang yang cerdas.

*Al-Ghifari, seorang yang hebat hafalannya.

*Al-Abnasi, seorang yang terkenal kehebatannya dalam mengajar dan memahamkan orang lain.

*Al-Izzu bin Jamaah, seorang yang banyak menguasai beragam bidang ilmu.

Diantara murid beliau yang terkenal adalah:
1. Syeikh Ibrohim bin Ali bin asy-Syeikh bin Burhanuddin bin Zhohiiroh al-Makki asy-Syafi’i (wafat tahun 891 H)
2. Syeikh Ahmad bin Utsmaan bin Muhammad bin Ibrohim bin Abdillah al-Karmaani al-hanafi (wafat tahun 835 H) dikenal dengan Syihabuddin abul Fathi alKalutaani seorang Muhaddits
3. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Ali bin Hasan al-Anshari al-Khazraji (wafat tahun 875 H) yang dikenal dengan al-Hijaazi
4. Zakariya bin Muhammad bin Zakariya al-Anshari wafat tahun 926 H
5. Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad bin Abu bakar bin Utsmaan as-Sakhaawi asy-Syafi’i wafat tahun 902 H
6. Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Abdullah bin Fahd al-Hasyimi al-‘Alawi al-Makki wafat tahun 871 H.
7. Burhanuddin Al-Baqa’i, penulis kitab Nuzhum Ad-Dhurar fi Tanasub Al-Ayi wa As-Suwar.
8. Ibnu Al-Haidhari.
9. At-Tafi bin Fahd Al-Makki.
10. Al-Kamal bin Al-Hamam Al-Hanafi.
11. Qasim bin Quthlubugha.
12. Ibnu Taghri Bardi, penulis kitab Al-Manhal Ash-Shafi.
13. Ibnu Quzni.
14. Abul Fadhl bin Asy-Syihnah.
15. Al-Muhib Al-Bakri.
16. Ibnu Ash-Shairafi.

Wafatnya  

Setelah melalui masa-masa kehidupan yang penuh dengan kegiatan ilmiyah dalam khidmah kepada ilmu dan berjihad menyebarkannya dengan beragam sarana yang ada. Ibnu Hajar jatuh sakit dirumahnya setelah ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai qadhi pada tanggal 25 Jamadal Akhir tahun 852 H. Dia adalah seorang yang selalu sibuk dengan mengarang dan mendatangi majelis-majelis taklim hingga pertama kali penyakit itu menjangkit yaitu pada bulan Dzulqa’dah tahun 852 H. Ketika ia sakit yang membawanya meninggal, ia berkata, “Ya Allah, bolehlah engkau tidak memberikanku kesehatan, tetapi janganlah engkau tidak memberikanku pengampunan.” Beliau berusaha menyembunyikan penyakitnya dan tetap menunaikan kewajibannya mengajar dan membacakan imla`. Namun penyakit tersebut semakin bertambah parah sehingga para tabib dan penguasa (umara) serta para Qadhi bolak balik menjenguk beliau. Sakit ini berlangsung lebih dari satu bulan kemudian beliau terkena diare yang sangat parah dengan mengeluarkan darah. Imam as-Sakhaawi berkata: Saya mengira Allah telah memuliakan beliau dengan mati syahid, karena penyakit tha’un telah muncul. Kemudian pada malam sabtu tanggal 18 Dzulhijjah tahun 852 H berselang dua jam setelah shalat isya’, orang-orang dan para sahabatnya berkerumun didekatnya menyaksikan hadirnya sakaratul maut.

Hari itu adalah hari musibah yang sangat besar. Orang-orang menangisi kepergiannya sampai-sampai orang non muslim pun ikut meratapi kematian beliau. Pada hari itu pasar-pasar ditutup demi menyertai kepergiannya. Para pelayat yang datang pun sampai-sampai tidak dapat dihitung. Semua para pembesar dan pejabat kerajaan saat itu datang melayat dan bersama masyarakat yang banyak sekali menyolatkan jenazah beliau. Diperkirakan orang yang menyolatkan beliau lebih dari 50.000 orang dan Amirul Mukminin khalifah Al-Abbasiah mempersilahkan
Al-Bulqini untuk menyalati Ibnu Hajar di Ar-Ramilah di luar kota Kairo. Jenazah beliau kemudian dipindah ke Al-Qarafah Ash-Shughra untuk dikubur di pekuburan Bani Al-Kharrubi yang berhadapan dengan masjid Ad-Dailami di antara makam Imam Syafi’i dengan Syaikh Muslim As-Silmi.

Sanjungan Para Ulama Terhadapnya
Al-Hafizh As-Sakhawi berkata, “Adapun pujian para ulama terhadapnya, ketahuilah pujian mereka tidak dapat dihitung. Mereka memberikan pujian yang tak terkira jumlahnya, namun saya berusaha untuk menyebutkan sebagiannya sesuai dengan kemampuan.”

  Al-Iraqi berkata “Ia adalah syaikh, yang alim, yang sempurna, yang mulia, yang seorang muhhadits (ahli hadist), yang banyak memberikan manfaat, yang agung, seorang Al-Hafizh, yang sangat bertakwa, yang dhabit (dapat dipercaya perkataannya), yang tsiqah, yang amanah, Syihabudin Ahmad Abdul Fadhl bin Asy-Syaikh, Al-Imam, Al-Alim, Al-Auhad, Al-Marhum Nurudin, yang kumpul kepadanya para perawi dan
syaikh-syaikh, yang pandai dalam nasikh dan mansukh, yang menguasai Al-Muwafaqat dan Al-Abdal, yang dapat membedakan antara rawi-rawi yang tsiqah dan dhoif, yang banyak menemui para ahli hadits,dan yang banyak ilmunya dalam waktu yang relatif pendek. ” Dan masih banyak lagi Ulama yang memuji dia, dengan kepandaian Ibnu Hajar.

Karya Ilmiyah Beliau.

Al-Haafizh ibnu Hajar telah menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya dengan lisan, amalan dan tulisan. Beliau telah memberikan jasa besar bagi perkembangan beraneka ragam bidang keilmuan untuk umat ini.

Murid beliau yang ternama imam as-Sakhaawi dalam kitab ad-Dhiya’ al-Laami’ menjelaskan bahwa karya tulis beliau mencapai lebih dari 150 karya, sedangkan dalam kitab al-Jawaahir was-Durar disampaikan lebih dari 270 karya.

Tulisan-tulisan Ibnu Hajar, antara lain:
 Ithaf Al-Mahrah bi Athraf Al-Asyrah.
 An-Nukat Azh-Zhiraf ala Al-Athraf.
 Ta’rif Ahli At-Taqdis bi Maratib Al-Maushufin bi At-Tadlis (Thaqabat Al-Mudallisin).
 Taghliq At-Ta’liq.
 At-Tamyiz fi Takhrij Ahadits Syarh Al-Wajiz (At-Talkhis Al-Habir).
 Ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits Al-Hidayah.
 Fath Al-Bari bi Syarh Shohih al-Bukhori.
 Al-Qaul Al-Musaddad fi Adz-Dzabbi an Musnad Al-Imam Ahmad.
 Al-Kafi Asy-Syafi fi Takhrij Ahadits Al-Kasyyaf.
 Mukhtashar At-Targhib wa At-Tarhib.
 Al-Mathalib Al-Aliyah bi Zawaid Al-Masanid Ats-Tsamaniyah.
 Nukhbah Al-Fikri fi Mushthalah Ahli Al-Atsar.
 Nuzhah An-Nazhar fi Taudhih Nukhbah Al-Fikr.
 Komentar dan kritik atas kitab Ulum Hadits karya Ibnu As-Shalah.
 Hadyu As-Sari Muqqadimah Fath Al-Bari.
 Tabshir Al-Muntabash bi Tahrir Al-Musytabah.
 Ta’jil Al-Manfaah bi Zawaid Rijal Al-Aimmah Al-Arba’ah.
 Taqrib At-Tahdzib.
 Tahdzib At-Tahdzib.
 Lisan Al-Mizan.
 Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah.
 Inba’ Al-Ghamar bi Inba’ Al-Umur.
 Ad-Durar Al-Kaminah fi A’yan Al-Miah Ats-Tsaminah.
 Raf’ul Ishri ‘an Qudhat Mishra.
 Bulughul Maram min Adillah Al-Ahkam.
 Quwwatul Hujjaj fi Umum Al-Maghfirah Al-Hujjaj.
Wallahu a’lam.

Syarah Ushul Sunnah Imam Ahmad (bag. 8)

Ke-delapan:

. والسنة تفسر القرآن ، وهي دلائل القرآن

8. As-Sunnah adalah penjelas Al-Quran yakni petunjuk-petunjuk dalam Al-Quran.

Oleh Ust Badrusalam

Faidah poin ke 8:

8.1. Sunnah berfungsi menjelaskan al qur’an. Dan tidak sebaliknya.

8.2. Bentuk penjelasan sunnah terhadap Al-Qur’an adalah:

8.2.a. Mengikat kemutlakan Al Qur’an.

8.2.b. Menghususkan keumuman Al Qur’an.

8.2.c. Menambah hukum yang tidak disebutkan oleh Al Qur’an.

8.2.d. Menguatkan ketetapan Al qur’an.

8.2.e. Memperinci ayat yang mujmal (global).

8.3. Tidak semua ayat ditafsirkan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم, karena kebanyakan ayat adalah muhkamat terutama yang berhubungan dengan targhib dan tarhib, akhlaq, kisah dsb.

Syarah Ushul Sunnah Imam Ahmad (bag. 7)

Ke-Tujuh:

.والسنة عندنا آثار رسول الله صلى الله عليه وسلم

7.As-Sunnah menurut kami adalah atsar-atsar Rasulullah صلي الله عليه وسلم.

Oleh Ust Badrusalam

Faidah point ketujuh:

7.1. Sunnah adalah semua yang diambil dari Rasulullah berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuan (taqrir).

7. 2. Sebagian ulama ada yang menyamakan antara sunnah dan atsar, namun jumhur membedakannya, dimana atsar adalah khusus untuk para shahabat Nabi صلى الله عليه وسلم.
Dan imam Ahmad ingin menjelaskan kepada kita hakikat sunnah, bahwa ia adalah atsar Nabi صلى الله عليه وسلم, ini menunjukkan beliau membedakan antara keduanya. Wallahu a’alam

7. 3. Sunnah dengan makna ini mencakup hukum yang lima: wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.

7.4. Setelah munculnya ilmu-ilmu, makna sunnah menjadi semakin menyempit disesuaikan dengan disiplin ilmu masing-masing.

Ustad Badrusalam memberi pertanyaan:
Nah.. Sekarang tugas antum, sebutkan definisi sunnah menurut ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih dan ilmu aqidah!! Tafadlal..

Jawab:

debewe dian Abdurrahman Muslim ♒ȋп̥̥̲̣̣̣ Bismillah.
Definisi Sunnah menurut ilmu hadits adalah Al hadits itu sendiri, tentunya yang shohih baik yang berupa Perkataan, perbuatan, persetujuan Nabi, serta diamnya Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , Allohu a’lam

debewe dian Abdurrahman Muslim ♒ȋп̥̥̲̣̣̣
Definisi sunnah menurut ilmu ushul fiqh adalah sesuatu yang diminta untuk dilakukan(perintahkan) akan tetapi perintahnya tersebut tidaklah terlalu dikuatkan (ditekankan). Allohu a’lam.

debewe dian Abdurrahman Muslim ♒ȋп̥̥̲̣̣̣
Definisi sunnah menurut ilmu fiqh adalah sesuatu yang dianjurkan untuk dikerjakan dan merupakan aib bagi yang meninggalkannya. Allohu a’lam

debewe dian Abdurrahman Muslim ♒ȋп̥̥̲̣̣̣
Definisi sunnah menurut ilmu aqidah adalah setiap sesuatu yang berlawanan dengan bid’ah. Allohu a’lam.

syarah ushul Sunnah Imam Ahmad (bag. 6)

Ke enam:
. وترك المراء والجدال والخصومات في الدين .

6.Meninggalkan perdebatan dan adu argumentasi serta pertikaian dalam urusan agama.

Oleh Ust Badrusalam Faidah point ke enam:

6.1. Larangan bertengkar dalam agama.

6.2. Larangan berdebat kusir, yaitu debat yg tidak berdsarkan dalil.
Adapun debat ilmiyah, dimana setiap pihak berargumen dgn dalil ilmiyah maka itu dilakukan oleh para ulama.

6.3. Jidal yg terlarang itu adalah:
6.3. A. Jidal utk menggugurkan kebenaran (ghafir: 5).
6.3.B. Berjidal dalam kebenaran setelah jelas (Al anfaal: 6).
6.3.C. Berjidal dalam perkara yg tidak ada ilmunya (Ali Imran: 66).
6.3. D. Berjidal hanya utk memperlihatkan kelebihan ilmu.

6.4. Agama bukan utk diperdebatkan, kewajiban kita adalah taslim dan tunduk kepada alhaq.

Tanya:

Ustadz, yang dimaksud dengan orang yg paling keras permusuhannya dari hadits رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , apakah orang2 yg suka berdebat ?

Ust Badrusalam menjawab: Yang kasar lagi suka bertengkar