Kumpulan Tulisan di Group BBM As Sunnah 9 & 14

Archive for the ‘Tafsir’ Category

Tafsir Iyyaaka Na’budu

Oleh Ustadz Badrusalam

Iyyaka adalah maf’ul bihi (objek) yg dikedepankan dari kata kerjanya, dan dalam bahasa arab mempunyai pembatasan yang artinya hanya kepadaMu kami beribadah.
Na’budu artinya kami beribadah, dan ibadah di definisikan oleh syaikhul islam ibnu Taimiyah: “Nama yang mencakup semua yang Allah cintai dan ridlai berupa perkataan dan perbuatan yang tampak maupun yang tersembunyi.
– Yang Allah cintai dan ridlai adalah yang Allah ajarkan kepada RasulNya. Dan ini menunjukkan bahwa syarat sah ibadah adalah dua:
1. Ikhlas hanya mengharapkan keridlaan Allah semata.
2. Mutaba’ah artinya mengikuti contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
– perkataan dan perbuatan mencakup perkataan hati berupa tashdiq (pembenaran) dan perkataan lisan seperti dzikir, dakwah dan sebagainya.
Perbuatan perbuatan hati, dan anggota badan. Perbuatan hati seperti cinta, benci, takut, tawakkal, berharap, khusyu dsb.
Maka semua macam ibadah itu hanya ditujukkan kepada Allah saja, dan ini adalah makna laa ilaaha illallah yang merupakan dakwah semua Nabi dan Rasul.
Dan ini adalah intisari Al Qur’an, karena al qur’an seluruhnya berbicara ttg tauhid

Tafsir Maaliki Yaumiddiin

Tafsir Maaliki Yaumiddiin

Oleh Ustadz Badrusalam

Maalik artinya pemilik dan raja. Addiin disini artinya jazaa artinya pembalasan yaitu hari kiamat.

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Pengkhususan Allah سبحانه وتعالى sebagai raja pada hari pembalasan bukan berarti bahwa Allah bukan raja pada hari lain, akan tetapi karena pada hari itu tidak ada seorangpun mengaku dirinya raja, dan tidak ada yang berani berbicara pada hari ini kecuali dengan idzin-Nya.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Allah akan menggenggam bumi dan melipat langit dengan tangan kananNya, lalu berfirman: “Akulah raja, dimanakah raja-raja dunia, dimanakah para diktator? Dimanakah kaum yang sombong?”

Maka dari itu nama yang paling hina di sisi Allah adalah orang yang menamai dirinya raja diraja (muttafaq ‘alaihi dari hadits Abu Hurairah)

Tanya-Jawab
(T)  Jadi penyebutan istilah raja tidak boleh ya stadz…misal raja2 dunia seperti raja kraton yogya
(J)  Boleh, yang gak boleh raja diraja

Tafsir Ar Rahman Ar Rahiim

Tafsir Ar Rahman Ar Rahiim

Oleh Ustad Badrussalam

Ar Rahman dan Ar Rahiim dari satu kata yaitu rahima yarhamu rahmatan artinya merahmati, Ar Rahman wazannya fa’laan dan wazan ini biasa digunakan oleh org arab utk menunjukkan kepada sesuatu yg sangat, seperti ghadbaan artinya sangat marah dan hatinya telah dipenuhi oleh kemarahan.
Ar Rahmaan artinya yang sangat penyayang dan dipenuhi kasih sayang.
Perbedaan Ar Rahmaan dgn Ar Rahiim.
Ibnu Qayyim menjelaskan perbedaan antara keduanya, kita ringkas kepada beberapa poin:
1. Ar Rahmaan adalah sifat dan Ar Rahiim adalah perbuatanNya. Seperti firman Allah: “wa kaana bil mukminiin rahiima (Allah rahiim kepada kaum mukminin)”.
Dalam ayat itu tidak dikatakan: rahmaana.
2. Ar Rahmaan lebih kuat maknanya dari Ar Rahiim. Oleh karena itu Allah menyandingkannya dengan makhlukNya yg paling luas. Allah berfirman: “Ar Rahmaan ‘alal ‘arsyi istawaa (Ar Rahman bersemayam di atas Arasy).
Kesesuaiannya adalah: ketika arasy adalah makhluk Allah yg paling besar dan meliputi semua makhluk dibawahnya maka Allah sebutkan nama: Ar Rahmaan yang rahmatNya meliputi segala makhlukNya.

Tanya : Berarti terjemah yg umum kita kenal dari kecil di Indonesia “yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang” gak tepat ya stadz?

Jawab : bisa

Tanya : Ustadz, klau rahiim mnunjukkan prbuatan, bgmn dgn awal surat ar rahman: 1. Ar rahmaan. 2. ‘Allamal qur’an. 3. Kholaqol insan 4. ‘Allamahul bayan. Kata2 stelah ar rahman itu mnunjukkan prbuatan smua stadz. عفوا

Jawab : Penyebutan kata Ar Rahman dalam surat tersebut berbeda dengan penyebutan kata rahiim dalam firman Allah : wa kaan bil mukminiin rahiima”. Ar Rahmaan adalah nama (isim) dan isim itu menunjukkan kepada musamma (yg dinamai) yaitu Allah, jadi firman Allah setelahnya ‘allamal qur’an kembali kepada isim dan musamma, dan setiap isim pasti menenjukkan kepada dua: dzat dan sifat.

*Tafsir rabbil ‘alamiin ‎​

Ustad Badrussalam wrote:

*Tafsir rabbil ‘alamiin
‎​

Rabb mempunyai beberapa makna:

1. Pemilik, seperti perkataan org arab: man rabbuddaar? Siapa pemilik rumah ini..

‎​2. Dari kata tarbiyah artinya menjadikan sesuatu sedikit demi sedikit sampai menjadi sempurna.
Seperti firman Allah: walaakin kunuu rabbaaniyyiin”. Ibnu Abbas berkata: Rabbaniy adalah orang mengajarkan manusia dimulai dari ilmu yg dasar sebelum ilmu yg dalam”.
Oleh karena itu Allah menciptakan segala sesuatu sedikit demi sedikit sampai menjadi sempurna, seperti manusia diciptakan dari setetes mani kemudian menjadi segumpal darah dst..

‎​3. Rabb juga bermakna pengatur alam semesta.
Dan semua mkna ini tercakup dalam kata Rabb, maka Dia Allah pemilik segala sesuatu, pencipta dan pengaturnya.
Al ‘Alamiin artinya langit dan bumi dan isinya.

‎​Dalam firman Allah: “Alhamdulillah terdapat makna tauhid uluhiyyah, karena mengandung pengikhlasan pujian kepada Allah semata, dan pujian kepada Allah merupakan ibadah yg sangat agung.
‎​

Dan firman Allah Rabbul ‘alamiin terdapat makna tauhiid rububiyyah yaitu mentauhidkan Allah dalam perbuatan-perbuatan Allah seperti penciptaan, pemberian rizki dll.
‎​

Dalam firman Allah: alhamdulillahi rabbil ‘alamiin terdapat dua makna yang paling agung yaitu Allah dan Rabb.

Tanya:
Stadz, Rabb dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata Tuhan. Makna Tuhan sendiri sebenarnya terjemahan dari God. Orang Nasrani, mengganti terjemahan kata God di Indoneisa dan Malaysia dengan kata Allah.

Jawab: Bagusnya gak usah di terjemahkan, karena rabb dengan tuhan maknanya sangat jauuh.

Tanya: Naam stadz. Stadz, kapan kita menggunakan kata Rabb dan kita menggunkan kata اَللّهُ سبحانه وتعالى?

Jawab: ‎​Tidak ada ketentuan, namun dilihat kesesuaiannya.

Tanya: Makna Robb kan ada 3 makna diatas stadz, trs yg paling byk dimaksud di dlm alquran makna yg mana stadz? apakah smuanya jd 1 yakni Pemilik, Pengatur, dan Menjadikan sesuatu sedikit demi sedikit sampai menjadi sempurna?

Jawab: ‎​Semua makna, masuk dlm tauhid rububibiyah

Tafsir Alhamdulillah

Relay ustadz Badrusalam, dr group nge-Rodja

Tafsir Alhamdulillah
………………………………….

Alhamdu artinya pujian dan alif laam dalam alhamdu bermakna istighraq artinya menyeluruh.
Maka Allah terpuji dalam nama dan sifatNya, terpuji dalam perbuatanNya, terpuji dalam hukum dan pensyari’atanNya

Allah memuji penciptaan dengan pujian (Al An’aam: 1) dan mengakhiri penciptaan dengan pujian juga (Az Zumar: 75).

Memulai penciptaan
Dan ucapan Alhamdulillah memenuhi timbangan (HR Muslim) karena ia adalah kalimat yang menunjukkan rasa syukur hamba kepada Rabb, dan tidak ada yang paling suka dipuji kecuali Allah (HR Bukhari).

Allah cinta kepada hamba yg banyak memuji diriNya, nabi bersabda: “Allah cinta kepada hamba yg bila memakan sesuap ia memuji Allah dan bila minum seteguk ia memuji Allah”. (HR Abu Dawud).

Hukum-hukum seputar nama Allah:
Allah berasal dari kata ilaah, ibnu Abbas berkata: “Allah pemilik uluhiyah atas seluruh hambaNya”.

Allah adalah nama yg paling agung, berdasarkan hadits riwayat Tirmidzi bahwa Nabi mendengar seseorg berdoa: “Ya Allah aku memohon bahwa Engkau adalah Allah yg tidak ada ilah yg berhak disembah kecuali Dia.. Beliau bersabda: “Dia telah meminta dengan Nama-Nya yg paling agung..”

Allah adalah nama khusus untuk Allah saja, tidak boleh manusia dinamai dengan nama tsb kecuali ditambah abdu.

Tidak boleh berdzikir dengan nama Allah saja karena tidak pernah diajarkan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم tidak juga shahabat dan para ulama setelahnya
Juga karena dzikir dgn nama Allah saja bukan kalimat sempurna, dan Nabi tidak pernah mengajarkan dzikir dgn kalimat yg tidak sempurna

Tanya: Stadz, berzikir dgn kata Allah saja gak boleh, bagaimana dgn Laila ha Illaloh? Apa ada tuntunan tentang kapan dan bagaimana brrzikir dgn lafadz tersebut? Kok orang2 tasauf senang benget dgn dua zikir ini?

Jawab: Berdzikir dgn laa ilaaha illallah boleh, yg tidak boleh dzikir : Allah.. Allah.. Allah saja

Tempat-tempat yg ditekankan membaca hamdalah:
1. Setelah selesai makan dan minum
“Barangsiapa memakan makanan dan dia mengatakan “segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini dan memberiku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku” Maka akan diampuni dosanya (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih)
“sesungguhnya اَللّهُ سبحانه وتعالى betul2 ridha thd seorang hamba yg memakan makanan, kemudian memuji-Nya & meminum minuman lalu memuji-Nya” (HR Muslim)

2. Di dalam shalat terutama ketika bangkit dari ruku’
 

وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ –رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُ– قَالَ : ( كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنْ اَلرُّكُوعِ قَالَ : ” اَللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ اَلْحَمْدُ مِلْءَ اَلسَّمَوَاتِ وَمِلْءَ اَلْأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَيْءٍ بَعْدُ أَهْلَ اَلثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ أَحَقُّ مَا قَالَ اَلْعَبْدُ – وَكُلُّنَا لَكَ عَبْدٌ – اَللَّهُمَّ لَا مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلَا مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ وَلَا يَنْفَعُ ذَا اَلْجَدِّ مِنْكَ اَلْجَدُّ ) رَوَاهُ مُسْلِمٌ 

Abu Said Al-Khudry Radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم jika telah mengangkat kepalanya dari ruku’ beliau berdo’a “(artinya = Ya Allah Tuhan kami segala puji bagi-Mu sepenuh langit dan bumi dan sepenuh apa yang Engkau kehendaki. Engkaulah pemilik puji dan kemuliaan segala yang diucapkan oleh hamba. Kami semua menghambakan diri pada-Mu. Ya Allah tidak ada yang kuasa menolak apa yang Engkau cegah dan tidak bermanfaat keagungan bagi yang memiliki keagungan karena keagungan itu dari Engkau juga).” Hadits riwayat Muslim.

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ، حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ 

“Wahai Tuhan kami, bagiMu segala puji, aku memujiMu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah.” HR. Al-Bukhari dalam Fathul Baari 2/284

Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an

‎​Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an
………………………………………………….

Dalam memahami Al Qur’an, hendaklah seorang muslim memperhatikan tata cara yang benar sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab mereka, ibnu Katsir rahimahullah dalam muqodimah tafsirnya telah menjelaskan tata cara tafsir yang benar, beliau berkata :
“Apabila ada orang yang berkata,”Apakah cara tafsir yang paling benar ? jawabnya adalah bahwa cara yang paling benar (1) dengan menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an karena disebutkan dalam suatu ayat secara global namun telah dirinci penjelasannya dalam ayat yang lain. Jika engkau tidak mendapatkannya maka (2) carilah di dalam sunnah karena ia adalah penjelasan Al Qur’an… dan apabila kita tidak menemukannya di dalam Al Qur’an tidak juga di dalam As sunnnah maka (3) kita merujuk pendapat para shahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsirnya sebab mereka langsung menyaksikan keadaan-keadaan yang hanya mereka yang mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang lurus, dan amal shalih terutama para ulama mereka… dan apabila engkau tidak mendapatkannya di dalam Al Qur’an tidak juga dalam sunnah tidak juga pendapat para shahabat maka (4) banyak ulama yang merujuk pendapat Tabi’in… adapun menafsirkan Al Qur’an hanya dengan ro’yu semata maka hukumnya adalah haram.”

Tujuan diturunkan Al Qur’an adalah memberikan peringatan kepada manusia :
“Agar memberikan peringatan kepada orang yang hidup (hatinya).” (Yasin : 70).
Oleh karena itu seorang muslim hendaknya bersemangat untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an melebihi semangatnya membaca surat dari presiden atau seorang raja, sebagaimana dahulu para shahabat bersemangat memahami Al Qur’an, ibnu Mas’ud berkata :
وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، مَا نَزَلَتْْ آيَةٌ فِي كِتَابِ اللهِ إِلاَّ وَأَنَا أَعْلَمُ فِيْمَ نَزَلَتْ؟ وَأَيْنَ أُنْزِلَتْ؟ وَلَوْ أََعْلَمُ مَكَانَ أَحَدٍ أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ مِنِّى تَنَالُهُ الْمَطَََايَا لَأَتَيْتُهُ
“Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain-Nya, tidak ada satu ayatpun yang turun di dalam kitabullah kecuali saya mengetahui kepada apa ia turun dan dimana turunnya, kalaulah aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui kitabullah dariku yang dapat ditempuh oleh unta, niscaya aku akan mendatanginya.” (HR Ath Thobari).

Macam-macam penjelasan Al Qur’an dengan Al Qur’an.
Ayat-ayat Al Qur’an saling menjelaskan satu sama lainnya dengan berbagai macam bentuk penjelasan, Syaikh Muhammad bin Al Amin Asy Syanqithi menjelaskan beberapa macam penjelasan Al Qur’an dengan Al Qur’an diantaranya adalah :

Pertama : menjelaskan kegelobalan suatu ayat disebabkan oleh Persekutuan makna dalam :

1. Isim (kata benda).
Contohnya adalah kata quru’ dalam surat Al Baqarah :
“Dan wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menunggu tiga kali quru’.” (Al Baqarah : 228).
karena quru’ mempunyai dua makna yaitu suci dan haidl, dan Al Qur’an telah mengisyaratkan bahwa yang dimaksud quru dalam ayat tersebut adalah suci berdasarkan firman-Nya :
“Dan talaqlah mereka diwaktu ‘iddah (suci) mereka.” (Ath Thalaq : 1).
Huruf laam dalam “Li’iddatihinna” menunjukkan kepada waktu artinya waktu talaq yang diperintahkan dalam ayat ini adalah suci bukan waktu haidl, sedangkan kata quru’ dalam ayat di atas berhubungan dengan waktu ‘iddah, ini menunjukkan bahwa makna quru’ dalam ayat tersebut adalah suci bukan haidl, dan yang menguatkan makna ini juga adalah adanya huruf ta’ dalam ثلاثة قروء yang menunjukkan kepada mudzakar, kalaulah maknanya haidl tentu akan disebutkan dengan lafadz ثلاث قروء dengan tanpa ta karena haidl itu muannats.

‎​Diantara contohnya juga adalah kata Al ‘Atiiq dalam firman-Nya :
“Dan hendaklah mereka thawaf di baitil ‘atiiq.” (Al Hajj : 29).
Karena kata ‘Atiiq mempunyai beberapa makna yaitu qadiim (lama), al mu’tiq (yang memerdekakan), dan Al Kariim (yang mulia). Namun Allah menyebutkan bahwa yang dimaksud Al ‘Atiiq adalah makna yang pertama yaitu qadiim berdasarkan ayat lain :
“Sesungguhnya rumah yang pertama kali di letakkan untuk (tempat beribadah) manusia adalah yang berada di makkah.” (Ali Imran : 96).
Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa baitullah adalah rumah yang paling lama yang di bangun untuk manusia.

Contohnya adalah kata ‘as’as dalam firman Allah Ta’ala : والليل إذا عسعس. Karena ‘as’as mempunyai dua makna yaitu datang dan pergi, dan ayat lain menyebutkan dengan makna pergi, yaitu firman-Nya : والليل إذا أدبر “Demi malam apabila telah pergi.” Sehingga kata kerja ‘As’as dalam surat At Takwir tadi terlihat sepadan dengan yang di surat Al Muddatsir sebagaimana yang engkau lihat, akan tetapi di dalam Al Qur’an Alloh سبحانه وتعالى seringkali bersumpah dengan malam dan kegelapannya apabila telah datang sebagaimana dalam surat Al Lail, Asy Syamsu, Wadluha dan lainnya, dan membawa makna ayat kepada yang seringkali terjadi lebih layak sebagaimana yang dipilih oleh ibnu Katsir dan itulah pendapat yang kuat.

‎​‎​2. Huruf.
Contohnya adalah huruf wawu (maknanya : dan) dalam firman Allah Ta’ala:
“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” (Al Baqarah : 7).
Apakah wawu dalam ayat itu bermakna ‘athof (mengikuti sebelumnya) atau isti’naf (memulai), tetapi dalam surat Al Jatsiyah Allah Ta’ala berfirman :
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.” (Al Jatsiyah : 23).
Ayat ini menjelaskan bahwa penguncian itu untuk telinga dan hati dan penutupan itu untuk mata secara husus, sehingga wawu untuk pendengaran dalam surat Al Baqarah itu adalah wawu ‘athof, sedangkan untuk penglihatan adalah wawu isti’naf.

Diantara contohnya juga adalah huruf ba dalam firman Allah Ta’ala :
“Usaplah kepalamu”. (Al Maidah : 6).
Apakah ba dalam ayat ini bermakna tab’idl (sebagian) yang berkonsekwensi bolehnya mengusap sebagian kepala saja, ataukah ia bermakna ilshoq yang berkonsekwensi wajibnya menyapu kepala seluruhnya. Akan tetapi di dalam ayat tayamum Allah Ta’ala berfirman :
“Maka usaplah wajahmu”. (Al Maidah : 6).
Ba dalam ayat itu maknanya adalah ilshoq sehingga tidak boleh mengusap sebagian wajah saja, maka ba di ayat wudlu pun tidak ada bedanya sehingga wajib hukumnya mengusap seluruh kepala, dan makna ini juga dikuatkan oleh hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap seluruh kepalanya (HR Bukhari dan Muslim).

Diantara contohnya juga adalah huruf wawu dalam والراسخون ayat :
“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata ”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (Ali Imran : 7).
Apakah ia wawu ‘athof ataukah wawu isti’naf. Sebab jika wawu ‘athaf maknanya adalah bahwa yang mengetahui ta’wilnya adalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan jika wawu itu isti’naf maknanya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah saja.

‎​–selesai-
BBM As Sunnah 9

Beberapa Kaidah Penting yang Berhubungan dengan Tafsir Para Shahabat

Kajian bersama Ust Badrusalam
……………………………………………….
#Ada beberapa kaidah penting yang berhubungan dengan tafsir para shahabat yang mesti kita ketahui, diantaranya adalah :

*Kaidah pertama : Perselisihan shahabat dalam tafsir kebanyakan adalah perselisihan yang bersifat pariatif.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perselisihan diantara salaf dalam tafsir adalah sedikit, dan perselisihan mereka di dalam hukum lebih banyak dari perselisihan mereka di dalam tafsir, dan mayoritas perselisihan yang shahih dari mereka adalah dari jenis perselisihan tanawwu’ (pariatif) bukan perselisihan tadlod (kontradiktif). Dan ia ada dua :
Pertama : Setiap mereka mengungkapkan dengan ungkapan yang berbeda dengan ungkapan temannya yang menunjukkan kepada makna yang berbeda dengan makna temannya namun maksudnya adalah satu.
Contohnya adalah perbedaan ungkapan mereka dalam menafsirkan “Shirotul mustaqim” sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah Al Qur’an dan sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah islam. Dua penafsiran ini tidak bertentangan karena agama islam adalah mengikuti Al Qur’an. Demikian pula orang yang menafsirkan bahwa ia adalah sunnah dan jama’ah, atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Alloh سبحانه وتعالى dan Rosul-Nya, mereka semua mengisyaratkan kepada satu dzat akan tetapi setiap mereka memberikan sifat yang berbeda dengan sifat yang yang diberikan oleh orang lain.

Kedua : Setiap mereka menyebutkan sebagian jenis dari nama yang umum dalam rangka memberikan contoh/permisalan bukan dalam rangka memberikan definisi atau batasan dalam keumuman dan kekhususannya.
Contohnya adalah penafsiran mereka mengenai firman Allah سبحانه وتعالى:
“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir 32).
Dan telah diketahui bahwa orang yang menzalimi dirinya mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman. Dan yang pertengahan mencakup melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman dan As Sabiq (orang yang mendahului) mencakup orang yang mendekatkan diri dengan hasanat selain kewajiban yang ia lakukan.
Kemudian setiap mereka menyebutkan ini pada salah satu macam dari macam-macam ketaatan, seperti perkataan seseorang: “As Sabiq adalah yang sholat di awal waktu, dan yang pertengahan adalah orang yang sholat di dalam waktunya, dan zalim adalah orang yang mengakhirkan sholat ashar sampai matahari menguning.”

*Kaidah kedua : Pendapat seorang shahabat yang tidak diketahui adanya penyelisihan dari shahabat lain adalah hujjah.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila pendapat seorang shahabat tidak diselisihi oleh shahabat lain maka (tidak lepas dari dua keadaan) (1) pendapat tersebut terkenal di kalangan shahabat atau (2) tidak terkenal. Apabila terkenal maka mayoritas fuqoha menyatakan bahwa ia adalah ijma’ dan hujjah dan sebagian fuqoha berpendapat bahwa ia adalah hujjah namun bukan ijma’.
Dan apabila tidak terkenal atau tidak diketahui apakah ia terkenal atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia hujjah atau bukan; pendapat mayoritas ulama bahwa ia adalah hujjah, ini adalah pendapat mayoritas hanafiyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad bin Al Hasan dan ia juga menyebutkan nash dari perkataan Abu Hanifah, dan ini juga pendapat Malik dan pengikutnya, dan ini juga pendapat Ishaq bin Rohawaih dan Abu Ubaid dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Ahmad dalam beberapa tempat dan dipilih oleh mayoritas pengikutnya, dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Asy Syafi’I dalam qoul (pendapat) dahulu dan barunya… imam Syafi’I dalam pendapat barunya menyatakan dengan tegas dari riwayat Rabie’ dari beliau bahwa pendapat shahabat adalah hujjah yang harus dipegang.
‎​‎​Imam Asy Syafi’I berkata: “Pendapat shahabat apabila berselisih kami pegang yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah atau ijma’ karena sesuai dengan qiyas, dan apabila pendapat shahabat itu tidak diketahui adanya penyelisihan maka aku tetap mengikuti pendapatnya apabila aku tidak menemukan Al Qur’an tidak juga dalam As Sunnah atau ijma’ tidak juga yang semakna dengannya yang bisa dijadikan hukum atau ditemukan qiyas bersama pendapat tersebut.”

*Kaidah ketiga : Penafsiran shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli kitab yang bukan dalam tempat ijtihad tidak pula penukilan dari bahasa arab hukumnya adalah marfu’.
Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidzahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli Kitab dan bukan berasal dari ro’yu, seperti pengabaran tentang sesuatu yang ghaib maka ia dihukumi marfu’ sampai kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, walaupun shahabat itu tidak menyatakan penisbatannya kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, seperti perkataan shahabat mengenai tanda-tanda hari kiamat, adzab qubur, tentang surga dan Neraka, dan sebab turunnya ayat dari shahabat yang tidak suka mengambil dari Ahli kitab seperti ibnu Mas’ud, Umar dan lainnya jika mereka mengatakan sesuatu perkataan yang tidak mungkin diketahui dari ijtihad atau akal, maka perkataan seperti ini adalah hujjah yang dihukumi marfu’.
Bahkan Al Hakim dalam kitabnya “Ulumul hadits” memasukkan penafsiran shahabat dalam hukum marfu’ namun pendapat ini tidak benar, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memberikan koreksi terhadap pendapat tersebut dalam kitab “An Nukat ‘ala ibnu Sholah” (2/20) beliau berkata: “Yang benar bahwa batasan penafsiran shahabat jika termasuk perkara yang bukan lapangan ijtihad tidak pula dinukil dari lisan arab maka hukumnya adalah marfu’ dan jika tidak demikian maka tidak, seperti pengabaran tentang kabar umat terdahulu…”.
Beliau berkata lagi: “Adapun apabila penafsiran itu berhubungan dengan hukum syari’at, boleh jadi tafsir itu diambil dari Nabi صلى الله عليه وسلم dan bisa juga dari kaidah-kaidah sehingga tidak bisa dipastikan kemarfu’annya, demikian juga penafsiran tentang kosa kata, maka ini adalah penukilan tentang lisan arab secara khusus sehingga tidak dipastikan kemarfu’annya, dan pendapat yang kami perinci ini yang dijadikan sandaran banyak ulama-ulama besar.”
‎​‎​

*Kaidah keempat : Apabila para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat misalnya maka tidak boleh kita mengadakan pendapat yang ketiga.
Syaikhul islam ibnu Taimiyah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al Qur’an beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah سبحانه وتعالى inginkan, akan tetapi tujuannya adalah menta’wil ayat untuk membantah lawannya yang berhujah dengan ayat tersebut, dan mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (merubah-rubah Al Qur’an) sehingga diantara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf, mereka berkata,”Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga, berbeda bila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.
Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua tadi berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut, jika tidak demikian maka bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan ?!
Abul Mudzofar As Sam’ani berkata: “Yang shahih adalah haram mengadakan pendapat yang ketiga, karena ijma’ mereka diatas dua pendapat adalah ijma untuk mengharamkan pendapat selainnya, dan kita tidak boleh menyelisihi ijma’ diatas satu pendapat karena ia mengandung pengharaman pendapat selainnya, demikian juga ijma’ mereka di atas dua pendapat juga mengandung pengharaman pendapat selainnnya.
‎​

*Kaidah kelima : Penafsiran shahabat apabila bertentangan dengan penafsiran Rosulullah صلى الله عليه وسلم maka dikompromikan terlebih dahulu, bila tidak bisa maka penafsiran Rosulullah صلى الله عليه وسلم lebih didahulukan.
Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu berkata: “Apabila tafsir hadits bertentangan dengan penafsiran shahabat atau tabi’in, maka kita harus mengkompromikan dua penafsiran tadi, dan jika tidak memungkinkan maka yang wajib adalah mendahulukan penafsiran Rosul صلى الله عليه وسلم karena beliau lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah سبحانه وتعالى. Contohnya adalah tafsir firman Allah سبحانه وتعالى:
“Pada hari disingkapkannya betis.” (Al Qolam : 42).
Imam Bukhari menafsirkan ayat itu dengan hadits :
يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ
“Rabb kita menyingkapkan betisnya, maka sujudlah kepada-Nya semua mukmin dan mukminah.” (HR Bukhari).
Namun dalam sebuah riwayat, ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah hari yang amat susah, jika riwayat ini shahih tidaklah bertentangan dengan hadits itu, maka maknanya adalah bahwa pada hari kiamat Allah سبحانه وتعالى menyingkapkan betisnya dan hari itu adalah hari yang amat susah, atau mungkin kita katakan bahwa ibnu Abbas belum sampai kepadanya hadits Abu Sa’id Al Khudri tadi.”

*Kaidah keenam : Memeriksa keabsahan riwayat tafsir shahabat.
Contohnya adalah tafsir firman Allah سبحانه وتعالى:
“Tidak juga orang yang junub kecuali yang menyeberang jalan.” (An Nisaa : 43).
Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menafsirkan maknanya adalah Kecuali engkau melewat di masjid, namun riwayat ini dla’if karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi, ia lemah. Demikian pula ibnu mas’ud menafsirkannya dengan penafsiran ibnu Abbas tadi akan tetapi sanadnya juga lemah karena ia diriwayatkan dari jalan Abi Ubaidah dari ibnu Mas’ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari ibnu Mas’ud sehingga sanadnya terputus.
Dan tentunya kritik sanad haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam ilmu hadits dan tidak boleh dimasuki oleh hawa nafsu, karena banyak tafsir shahabat yang dianggap lemah karena tidak sesuai dengan hawa nafsu.

‎​*Kaidah ketujuh : Tidak boleh mengadakan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Mukhtashar Ash Showa’iq Al Mursalah 2/128 : “Sesungguhnya mengadakan sebuah pendapat dalam menafsirkan kitabullah yang bertentangan dengan penafsiran salaf dan para imam berkonskwensi dua perkara : Boleh jadi pendapat tersebut salah atau penafsiran salaf dan para imam yang salah !! tentu orang yang berakal tidak akan merasa ragu bahwa pendapat tersebut lebih layak salah dari penafsiran salaf dan para imam.”
Al Hafidz ibnu Abdil Hadi dalam kitab Ash Shorim Al Munakki hal 427 berkata: “Tidak boleh mengadakan penafsiran ayat atau hadits yang tidak ada di zaman salaf yang tidak mereka ketahui tidak juga mereka jelaskan kepada umat, karena sikap seperti itu mengandung kesan bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran dan telah tersesat jalan lalu datang orang terakhir mengetahui kebenaran tersebut.”
Diantara contoh penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafushalih adalah penafsiran mengenai firman Allah Ta’ala :
“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia.” (Ali Imran : 110).
Kata “ukhrijat” (dikeluarkan) ditafsirkan dengan makna sebuah tata cara dakwah ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau empat puluh hari dan seterusnya, dan penafsiran seperti ini tidak pernah dikenal oleh para ulama terdahulu, tidak juga di dapati di dalam kitab-kitab tafsir, kalaulah itu baik tentu merekalah yang pertama kali mengamalkannya.

BBM As Sunnah 9